Selasa, Februari 27, 2007

Kiyai Kholil & Penubuhan NU

Pernah mendengar, dari sebuah tongkat dan seuntai tasbih lahir "bayi" yang di kemudian hari menjadi "raksasa"? Bagi orang awam, hal itu tampak sebagai sesuatu yang mustahil. Tapi tidak bagi Kiai Cholil.

Siapa Kiai Cholil ? Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), nama ini tentu tak asing. Dialah yang ikut membidani kelahiran "bayi" NU, yang kemudian menjadi "raksasa".

Waktu itu tahun 1924. Di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama "Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran)", yang didirikan oleh seorang kiai muda yang cukup ternama waktu itu, Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap berbagai gelojak dan tantangan yang dihadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun bidang pendidikan dan politik. Pada perkembangannya, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan sebuah jam`iyah (organisasi) yang lingkupnya lebih besar ketimbang hanya sebuah kelompok diskusi.

Dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasi ide untuk mendirikan jam`iyah. Tampaknya tidak begitu ada persoalan, kecuali restu dari Kiai Hasyim Asy`ari, seorang kiai yang paling berpengaruh saat itu. Kiai Wahab sudah menyampaikan keinginan untuk mendirikan jam`iyah kepada Kiai Hasyim, gurunya. Namun Kiai Hasyim tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Berbilang hari dan bulan Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah. Namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu Kiai Cholil (baca: Kiai Kholil), guru Kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu. Ternyata beliau tanggap. Seorang santri yang terhitung masih cucunya sendiri, As`ad (baca: Kiai As`ad Syamsul 'Arifin), dipanggil untuk menghadap.

"Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya," kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.

"Baik, Kiai," jawab As`ad sambil menerima tongkat.

"Bacakan kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini:-
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يٰمُوسَىٰ *
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ *
قَالَ أَلْقِهَا يٰمُوسَىٰ *
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ *
قَالَ خُذْهَا وَلاَ تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيَرتَهَا ٱلأُولَىٰ وَٱضْمُمْ يَدَكَ إِلَىٰ جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوۤءٍ آيَةً أُخْرَىٰ *
لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا ٱلْكُبْرَىٰ

"Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa ? Musa berkata,"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya." Allah berfirman,"Lemparkanlah itu, hai Musa!" Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain [pula], untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar (Thaha; 17-23)," pesan Kiai Cholil.

As`ad segera pergi ke Tebuireng, kediaman Kiai Hasyim. Di situlah berdiri pesantren yang diasuh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Cholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu. Benar juga.

"Kiai, saya diutus Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai," kata As`ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengulurkan sebuah tongkat. Kiai Hasyim menerimanya dengan penuh perasaan.

"Ada lagi yang harus kau sampaikan?" tanya Kiai Hasyim.

"Ada, Kiai," jawab As`ad. Kemudian ia membacakan ayat yang disampaikan Kiai Cholil.

Mendengar ayat yang dibacakan As`ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Cholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, gurunya tidak keberatan bila dia dan teman-temannya mendirikan jam`iyah.

Sejak itu, keinginan untuk mendirikan jam`iyah semakin dimatangkan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu. Namun jam`iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As`ad muncul lagi.

"Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini," kata As`ad.

"Kiai juga diminta untuk mengamalkan 'Ya Jabbar - Ya Qahhar' setiap waktu," tambah As`ad.

Sekali lagi, pesan gurunya itu diterima Kiai Hasyim dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan jam`iyah. Namun sampai Kiai Cholil berpulang ke rahmatullah tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 29 Ramadhan 1343H, keinginan untuk mendirikan jam`iyah belum juga terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344H, "jabang bayi" yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU). Di kemudian hari, jabang bayi itu memang menjadi "raksasa".

[ Petikan "Karisma Ulama - Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU"].


Tiada ulasan: