Rabu, Disember 30, 2009

Tawassul - NU

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?

Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo'akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan," katanya.


Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ.
أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137


“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Tiryaaq Mujarrab 2

Menyambung mengenai kuburnya Syaikh Ma'ruf al-Karkhi, maka telah menulis al-Imam al-Hafiz Abu Bakar Ahmad bin 'Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi asy-Syafi`i al-Khatib al-Baghdadi (392H - 463H), ulama, ahli sejarah dan ahli hadits yang terkenal dengan panggilan Syaikh Khatib al-Baghdadi, dalam karya beliau yang masyhur "Tarikh Baghdad" pada bab ma dzukira fil maqaabir Baghdad al-makhshusah bil 'ulama` waz zuhhaad, seperti berikut:-

Ismail bin Ahmad al-Hiri telah memaklumkan kami bahawa Muhammad bin al-Husain as-Sulami telah mendengar daripada Abul Hasan bin Muqsim daripada Abu 'Ali ash Shaaffar yang mendengar Ibrahim al-Harbi berkata: "Kubur Ma'ruf adalah at-tiryaaq al-mujarrab".

Telah memberitahu akan daku Abu Ishaaq Ibrahim bin 'Umar al-Barmaki yang menyatakan bahawa dia diberitahu oleh Abul Fadhal 'Ubaidillah bin 'Abdur Rahman bin Muhammad az-Zuhri yang menyatakan bahawa dia telah mendengar ayahnya berkata: "Kubur Ma'ruf al-Karkhi itu mujarrab sebagai sebab bagi menunaikan hajat-hajat, dan dikatakan bahawa sesiapa yang membaca di sisinya (yakni di sisi kubur tersebut) 100 kali Suratul Ikhlash dan memohon kepada Allah apa yang dikehendakinya nescaya Allah menunaikan hajatnya".

Telah memberitahu akan kami Abu 'Abdullah Muhammad bin 'Ali bin 'Abdullah ash-Shuri menyatakan yang dia mendengar Abul Husain Muhammad bin Ahmad bin Jamii' menyatakan bahawa dia telah mendengar Abu 'Abdullah bin al-Mahaamili berkata: "Aku mengetahui akan kubur Ma'ruf al-Karkhi sejak 70 tahun yang lalu, tiada menziarahinya orang yang ditimpa masalah (kesusahan) melainkan Allah akan meleraikan masalahnya (melepaskan kesusahannya)."
Allahu ... Allah, adakah mereka-mereka ini penyembah kubur??? Atau mereka adalah orang yang telah sempurna ilmu dan makrifat mereka, sehingga mereka mengetahui darjat dan kadarnya seseorang makhluk di sisi Khaliqnya dan menjadikan mereka sebagai upaya dan sarana bertawassul dan bertabarruk. Apakah kita hendak menuduh al-Khatib al-Baghdadi serta segala ulama dan huffaz tersebut sebagai penyembah kubur???? Siapa berani, silakan, nanti pasti kita akan mengetahui siapa yang Ahlus Sunnah dan siapa pula yang Ahlul Bid`ah.


***********************************************
Pernyataan Syaikh Khatib al-Baghdadi tentang kubur Syaikh Ma'ruf
(Tarikh Baghdad, Juz 1, Halaman 134, Cetakan Darul Kutub Ilmiah 1417)


Ahad, Disember 27, 2009

Wirid `Asyura - Syaikh Daud

Ini adalah antara zikir dan doa yang dijadikan amalan oleh sebahagian ulama kita pada hari 'Asyura. Telah masyhur akan amalan ini dalam karya-karya ulama kita termasuklah dalam karya Mawlana Syaikh Daud al-Fathani rahimahUllah. Ini nukilan dari karya beliau "Kifaayatul Mubtadi wa Irsyadul Muhtadi", halaman 35.

Faedah yang `adhzimah yang nafisah disebut di dalam kitab "Jawaahirul Khamis" bagi Sayyidi Muhammad al-Ghawts RA: "Barangsiapa membaca pada hari 'Asyura` 70 kali akan:
Dan dibaca pula kemudiannya doa ini 7 kali, nescaya tiada mati pada demikian tahun itu dan jika sudah hampir ajalnya nescaya tiada diberi tawfiq bagi membaca akan dia. Inilah doanya:-

Jumaat, Disember 25, 2009

Seruan al-Qardhawi

Diberitakan dalam website Islam Online (edisi Bahasa Arab) bahawa Syaikh Yusuf al-Qardhawi di akhir lawatannya ke Malaysia (tepatnya pada 22/12/2009), dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri, telah menyeru agar semua pihak bersatu dalam mempertahankan pegangan Islam berteraskan Mazhab asy-Syafi`i dan Aqidah al-Asy`ari yang diamalkan di Malaysia serta menentang sebarang serangan pemikiran dari luar. Walaupun Syaikh al-Qardhawi terkenal dengan sikap agak "bebas mazhab " dalam ertikata beliau tidak terikat dengan mana-mana mazhab tertentu, di mana mungkin beliau seorang ulama yang telah layak untuk mengambil bersikap sedemikian, tetapi beliau bukanlah seorang yang "anti-mazhab". Beliau masih dapat melihat kepentingan mazhab dalam menyatupadu dan menseragamkan amalan beragama umat di satu-satu tempat. Diharap para pencinta dan pengkagum al-Qardhawi dapat menerima seruan dan saranan beliau tersebut, demi menjaga kesatuan, persatuan, perpaduan dan keutuhan umat Islam, bukan sahaja di Malaysia, tetapi di seluruh dunia.

- Untuk pandangan Syaikh Yusuf tentang Mawlid Nabi SAW, sila klik.
- Baca juga tulisan Ustaz Mohd Khafidz mengenai mazhab Syaikh Qardhawi.

Rabu, Disember 23, 2009

Golongan Ahlussunnah

Golongan Ahlussunnah menurut Imam al-Baghdadi


manusia diseru supaya tunduk kepada Allah serta berpegang kepada al-Quran dan hadis.

SAYA membaca tulisan mengenai makna atau definisi Ahlu al-sunnah wal Jamaah (ASWJ) daripada seorang penulis mingguan pada pertengahan November 2009 lepas. Penulis mengutip definisi Ahlussunnah yang ditulis oleh Imam al-Baghdadi (wafat429H) dalam kitabnya, al-Farq Baina al-Firaq.

Namun malangnya perkataan al-turuq al-sifatiah atau 'jalan-jalan sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal, itulah antara perkara yang penting untuk menentukan sama ada tauhid yang mensyarahkan sifat-sifat 20 adalah sesuatu yang baru atau sememangnya sudah lama.

Pada saya, ada sedikit masalah 'ketidakjujuran ilmu', bila dia tidak menerangkan secukupnya maksud al-Baghdadi apabila mensyarahkan pengertian ASWJ.

Demikian juga, ada sebuah lagi penulisan yang menceritakan aliran pemikiran tauhid di Nusantara, yang merujuk bahawa aliran yang mensyarahkan Sifat 20 hanyalah muncul selepas tahun 1,000 Hijrah melalui Imam Sanusi dengan kitabnya Umm al-Barahin. Penulis tidak merujuk kemunculan metod tersebut kepada penyusunnya yang sebenar iaitu Abu Hassan al-Asy'ari (wafat324H) yang muncul pada akhir kurun ke 3 Hijrah. Ini masalah 'sikap amanah' dalam penulisan.

Dalam kesempatan ini, saya hanya mahu menjelaskan siapakah Ahlussunnah menurut penulisan Imam al-Baghdadi yang telah menjadi rujukan definisi ASWJ supaya pembaca dapat memahaminya secara jelas.

Beliau menyatakan (hal.19): "Maka golongan yang ke 73 ialah Ahli Sunnah Wal Jamaah iaitu golongan ahl al-ra'y (Abu Hanifah dan murid-muridnya) dan ahlu al-hadis; bukan mereka yang mempermain-mainkan hadis; dan ulama fikah mereka, penghafal al-Quran mereka, perawi hadis daripada mereka, dan ulama hadis di kalangan mereka, semuanya sepakat atas keesaan Pencipta, keesaan sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, hikmah-Nya dan nama-nama-Nya dan pada bab kenabian dan kepimpinan, hukum hudud dan pada perkara usuluddin."

Seterusnya, Imam al-Baghdadi Rahimahullah memperincikan lapan golongan yang termasuk dalam Ahlusunnah wal Jamaah (lihat bukunya dari halaman 240-243):

  • Golongan pertama, mereka yang menguasai ilmu khususnya dalam bab Tauhid (meng-esa-kan Allah) dan kenabian, hukum-hukum wa'ad (khabar gembira) dan wa'id (ancaman seksa), pahala dan balasan, syarat-syarat ijtihad, pemerintahan dan kepimpinan. Mereka yang melalui jalan ini ialah ulama Kalam (Tauhid) yang bebas dari fahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) dan bebas daripada fahaman ta'til (yang menafikan sifat-sifat yang Azali bagi Allah SWT), dan bebas daripada bidaah al-Rafidhah, Khawarij, Jahmiah, Najariah dan seluruh pengikut bidaah dan hawa nafsu.
  • Golongan kedua ialah imam-imam fiqh sama ada kumpulan yang cenderung pada rakyun (dalil aqal) atau hadis. Iaitu mereka yang beriktikad (berkeyakinan) pada perkara usuluddin dengan mazhab-mazhab sifat pada Allah dan pada sifat-sifatnya yang azali (membicarakan sifat-sifat Allah SWT sebagaimana sifat 20), dan mereka bebas daripada fahaman Qadariah dan Muktazilah; mereka menetapkan melihat Allah Taala dengan mata (di akhirat kelak) dengan mata tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), tanpa ta'til' (menafikan sifat-sifat Allah). Termasuk dalam golongan ini ialah murid-murid kepada Malik, al-Shafie, al-Auza'i, al-Thauri, Abu Hanifah, Ibn Abu Laila (wafat148H), sahabat-sahabat Abu Thaur (wafat240H), sahabat-sahabat Ahmad bin Hanbal (wafat241H), ahli al-Zahir, keseluruhan ulama fiqh yang beriktikad dalam bab-bab akal ini dengan prinsip-prinsip Sifat (tauhid yang membahaskan Sifat-sifat Allah). Dan mereka tidak mencampurkannya dengan apa-apa daripada ahli bidaah dan hawa nafsu.
  • Golongan ketiga ialah mereka yang menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan periwayatan hadis dan sunnah yang disampaikan oleh Nabi SAW, mereka berupaya membezakan antara sahih dan cacat antaranya, mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta'dil (kredibiliti seorang rawi) dan mereka tidak memasukkan ilmu mereka dengan apa-apa daripada ahli bidaah dan nafsu yang menyesatkan.
  • Golongan keempat ialah kaum yang menguasai kebanyakan topik-topik sastera Arab, nahu dan saraf. Mereka berada atas jalan pakar bahasa seperti al-Khalil (wafat175H), Abu 'Amr bin al-'Ala (wafat 145), Sibawaih (wafat 180H), al-Farra' (wafat 207H), al-Akhfash (wafat 215H), al-Asma'i, al-Mazini (wafat 236H), Abu Ubaid (wafat 224H) dan seluruh imam-imam Nahu sama ada ulama-ulama Kufah atau Basrah, yang mana mereka tidak mencampurkan ilmu mereka dengan sesuatu daripada bidaah al-Qadariah, atau Rafidhah atau Khawarij.Maka sekiranya seseorang itu cenderung ke arah nafsu yang menyesatkan, maka bukanlah ia daripada golongan Ahlussunnah walaupun kata-katanya adalah 'hujah' dalam ilmu bahasa dan Nahu.
  • Golongan kelima, antaranya ialah mereka yang menguasai ilmu yang berkaitan dengan jenis-jenis qiraat untuk al-Quran dan jenis-jenis tafsiran al-Quran, penakwilannya berdasarkan mazhab-mazhab Ahlussunnah, tanpa berpegang dengan takwilan ahli nafsu yang sesat.
  • Golongan keenam ialah, antaranya ialah para ahli zuhud sufi yang mempunyai ilmu maka jauh pandangan, yang telah dinilai maka ia diiktibarkan, mereka reda dengan hidup yang ringkas, mereka mengetahui bahawa penglihatan, pendengaran dan hati dipertanggungjawabkan terhadap kebaikan dan kejahatan; menghisab dengan neraca zarah-zarah, justeru menyediakan diri mereka dengan sebaik-baik persiapan untuk hari Kiamat. Perkataan mereka berjalan di atas dua jalan iaitu secara jelas dan isyarat di atas jalan ahli hadis, tanpa mereka 'membeli' pandangan yang mempermainkan hadis. Mereka tidak melakukan kebaikan kerana riak, tidak pula meninggalkan kebaikan kerana malu kepada orang lain. Agama mereka hanya satu dan menafikan pentasybihan (menyerupakan Allah dengan makhluk), mazhab mereka ialah tafwidh (menyerahkannya) kepada Allah SWT, bertawakal kepada-Nya, penyerahan kepada-Nya, tenang dengan apa yang direzekikan-Nya.
  • Golongan ketujuh ialah, antaranya kaum yang terikat dengan barisan hadapan peperangan dengan orang-orang kafir, berjihad melawan musuh-musuh Islam, mereka menjadi benteng melindungi umat Islam, meninggalkan isteri-isteri mereka dan negara mereka dan menzahirkan pada barisan hadapan mereka Mazhab ASWJ.
  • Golongan kelapan ialah, antaranya kebanyakan negara-negara yang secara kebiasaannya terdapat syiar ASWJ, bukannya negara yang menzahirkan syiar ahli hawa-nafsu yang sesat.

Itulah huraian sebenar al-Imam Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi. Rupanya, ramai sebenarnya yang diiktiraf sebagai Ahlussunnah. Ia berbeza dengan pandangan yang meminoritikan dan mengeksklusifkan ASWJ hanya untuk golongannya sahaja, dengan tuduhan sesat dan bidaah pada perkara remeh-temeh seperti qunut, talkin, zikir selepas solat, berdoa beramai-ramai dan sebagainya.

Lihat kata Imam al-Baghdadi tentang perkara-perkara cabang (hal. 19): "Mereka (ASWJ) hanya khilaf mengenai halal dan haram pada cabang hukum, bukanlah khilaf tersebut mengundang kepada sesat dan fasik; mereka adalah puak yang terselamat, kerana mereka bersatu pada keesaan Pencipta dan qidam-Nya, qidam segala sifatnya sejak azali, dan harus melihat-Nya tanpa sebarang perumpamaan dan gangguan, serta yakin terhadap isi kandungan kitab-Nya dan rasul-Nya, dan mengikut segala syariat Islam dan menghalalkan segala yang dihalalkan oleh al-Quran, dan mengharamkan segala yang diharam oleh al-Quran serta menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan beriman pada hari kebangkitan dan perhitungan, dan soal dua Malaikat dalam kubur, beriman dengan telaga Kauthar dan Timbangan.

Semoga masyarakat Islam tidak terbelenggu dengan perpecahan yang lebih parah, lantaran perkara-perkara tersebut.

Banyak masa yang perlu digunakan untuk memperbetulkan generasi muda yang menyongsang arus dengan pelbagai gejala sosial. Wallahu a'lam.

Selasa, Disember 22, 2009

Keamanan Setahun

Dalam menyambut tahun baru hijrah yang ke 1431, jangan pula lupa memperingati tuan punya hijrah, iaitu Junjungan Nabi SAW. Mudah-mudahan dengan memperingati Kekasih Allah SAW, kita juga diingati Allah dengan berbagai kurniaan dan anugerah, diberikan rahmat, maghfirah, keamanan dan kedamaian dunia dan akhirat. Dikatakan yang Imam al-Hafiz Ibnul Jawzi al-Hanbali rahimahUllah menyatakan bahawa dengan mengadakan mawlid Junjungan Nabi SAW boleh menjadi sebab bagi memperolehi keamanan sepanjang tahun, sebagaimana disebut oleh Sidi Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi rahimahUllah dalam "I`anatuth Tholibin" juzuk 3, halaman 414. Tercatat di sana sebagai berikut:-

Dan Ibnul Jawzi telah menyatakan bahawa di antara khasiatnya (yakni khasiat majlis mawlid Junjungan Nabi SAW) bahawasanya diberikan keamanan pada tahun tersebut dan akan diberikan kegembiraan dengan segeranya tertunai segala cita-cita dan keinginan.
Apatah lagi jika setelah segala untaian indah sirah kehidupan, akhlak pribadi dan sifat kemuliaan Junjungan Nabi SAW dibaca dalam mawlid yang indah bahasanya, diiringi pula doa membawa berbagai harapan dan permohonan, antaranya pula, mohon keamanan dan kesentosaan serta kemakmuran bagi negeri yang tercinta. Contohnya sebagaimana yang dipanjatkan oleh Sidi Ja'far al-Barzanji rahimahUllah dalam doa khatam mawlid beliau, antara lain menyebut:-

اَللّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ وَ سَاِئرَ بلاَدِ اْلمُسْلِمِيْنَ آمِنَةً رَخِيًّةً
وَ اسْقِنَا غَيْثًا يَعُمُّ انْسِيَابُ سَيْبِهِ السَّبْسَبَ وَ رُوْباَه
Ya Allah, jadikanlah negeri ini dan sekalian negeri umat Islam aman sentosa lagi makmur dan cucurilah kami akan hujan rahmat yang meratai segala lembah dataran dan bukit-bukau.
Allahumma aamiin. Mudah-mudahan dikabulkan Allah

************************************************
Mawlid Sidi Ja'far al-Barzanji

Marhaban Ya Marhaban

Khamis, Disember 17, 2009

Selamat Tahun Baru

Hari ini hari terakhir tahun 1430H. Terbenam matahari nanti, masuklah kita ke dalam tahun 1431H. Bertambahlah lagi umur kita dan bertambah hampir kita kepada kematian yang pasti datangnya. ....... Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, husnul khaatimah Ya Allah. Bagaimana hal ehwal kita sepanjang tahun ini, amalan kita, warak kita, taqwa kita???? Yang berlalu kita hisab, mana yang baik diteruskan dipertingkatkan, mana yang salah diperbetulkan. Segala amalan sholeh biar diterima Allah hendaknya, mana yang buruk mendapat kemaafanNya, ya itulah harapan kita sempena tahun baru ini. Doa Akhir Tahun dan Doa Awal Tahun dipanjat dengan membawa harapan sedemikian, sungguh keberuntungan bagi sesiapa yang Allah terima doanya. Berdoalah dengan sungguh-sungguh hati, sebab Allah tidak menerima doa orang yang lalai dan main-main, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.

Imam al-Hakim meriwayatkan dalam "al-Mustadrak 'ala ash-Shohihain" dengan sanad daripada Sayyidina Abu Hurairah RA bahawa Junjungan Nabi SAW bersabda:-

Berdoalah kalian kepada Allah dengan keyakinan yang ianya akan diijabahkan Allah, dan ketahuilah bahawasanya Allah tidak menerima doa daripada hati yang lalai dan leka (yakni tiada kesungguhan)."
Marilah kita memanjatkan doa akhir dan doa awal tahun yang diajar oleh para ulama kita. Menurut keterangan tuan-tuan guru kita, Doa Akhir Tahun dibaca sebelum terbenam matahari (sebelum waktu Maghrib), manakala Doa Awal Tahun dibaca setelah Maghrib. Mudah-mudahan dimakbulkan Allah. Insya-Allah, jika dikabulkan Allah, menangislah Iblis dan Syaithan atas kegagalan mereka menjerumuskan kita ke neraka. Qabuul Qabuul Ya Rabb.

*******************************
Doa Akhir Tahun
(3 x sebelum Maghrib)

**********************************
Doa Awal Tahun
(3 x setelah Maghrib)

***************************************
Bacaan Doa Akhir & Awal Tahun

Dalil Sanggah Beza Tauhid

Dalil sanggah beza tauhid uluhiah dan rububiah

MENYAMBUNG persoalan minggu lepas tentang tauhid uluhiah dan rububiah yang dibezakan oleh pereka tauhid ini, adakah terdapat perbezaan di antara kedua-duanya? Maka minggu ini kami memaparkan pula dalil aqal dan naqal yang menafikan sama sekali perbezaan ini.

Kami tegaskan sekali lagi, bahawa dengan membezakan di antara kedua-dua tauhid ini, mereka menganggap orang musyrik sebagai ahli tauhid dengan tauhid rububiah.

Dalam erti kata lain, melalui konsep tauhid rekaan Ibnu Taimiyyah ini, orang musyrik atau orang yang tidak mengucapkan kalimah syahadah dianggap sebagai ahli tauhid atau orang yang mengesakan Allah.

Ini kerana, kononnya mereka percaya dan mengakui bahawa Allah yang mencipta segala sesuatu dan mentadbir segala urusan alam ini, tetapi mereka tidak bertauhid dengan tauhid uluhiah kerana menyekutukan Allah dalam sembahannya.

Maknanya juga, dalam satu masa seseorang itu boleh dikira sebagai ahli tauhid dan musyrik. Inilah salah satu kepincangan tauhid ini yang mendapat sanggahan yang hebat daripada ulama Ahli Sunnah.

Sebagai menjelaskan lagi kepincangan dan kebatilan tauhid ini, marilah sama-sama kita merujuk kepada dalil-dalil ulama dari sudut akal dan naqal.

Dari sudut aqal

Sekiranya orang-orang musyrik termasuk di dalam golongan ahli tauhid rububiah (sebagaimana yang mereka percayai), bermakna mereka ini beriktikad dengan iktikad yang jazam (teguh dan tidak berbelah bahagi).

Dengan iktikad ini, sudah pasti mereka tidak akan meragui bahawa Allah itu Esa pada ciptaan, kekuasaan, pentadbiran, takdir dan perbuatan-Nya serta dalam mendatangkan suatu kesan sama ada manfaat atau pun mudarat, yang kesemuanya ini adalah komponen bagi tauhid rububiah.

Jika inilah keadaannya, bolehkah diterima akal, dengan iktikad sedemikian mereka boleh pula mengambil tuhan selain Allah untuk disembah, sedangkan tuhan yang lain itu tidak berkuasa mendatangkan sebarang manfaat atau mudarat kepada mereka?

Orang-orang musyrik pada setiap zaman dan tempat menyembah pelbagai sembahan selain Allah. Mereka mempercayai bahawa sembahan-sembahan mereka itu boleh melakukan sesuatu perbuatan, mendatangkan kesan, manfaat dan mudarat.

Boleh mendekatkan mereka kepada Allah, boleh mendatangkan sesuatu kebaikan bagi setiap orang yang datang meminta pertolongan kepada tuhan-tuhan mereka dan boleh mendatangkan mudarat kepada setiap orang yang berpaling daripadanya.

Semua kepercayaan ini menafikan tauhid rububiah.

Dari sudut naqal

Nas-nas syariat telah menetapkan secara jelas, terang dan qatie (pasti) bahawa orang-orang musyrik pada setiap masa dan tempat tidak akan mampu bertauhid dengan tauhid rububiah semata-mata dan menafikan uluhiah, tetapi mereka semua adalah orang-orang musyrik pada uluhiah dan rububiah sekali gus kerana kedua-duanya adalah perkara yang satu.

Sebagai contoh, kami sebutkan di sini dalil-dalilnya:

1. Firman Allah SWT dalam menceritakan tentang orang-orang musyrik ketika ditanya tentang rahsia sebenar mereka menyembah berhala selain Allah: Tidaklah kami (orang musyrik) menyembah atau memuja mereka (sembahan-sembahan mereka), melainkan supaya mereka mendampingkan kami kepada Allah dengan sedamping-dampingnya. (al-Zumar: 3)

Ayat ini jelas menunjukkan, orang-orang kafir beriktikad bahawa patung-patung mereka mempunyai kekuasaan untuk memberikan hidayah kepada mereka dan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Maksudnya sembahan mereka itu mampu memberi kesan dengan sendirinya.

Maka di manakah letaknya tauhid mereka bagi tauhid rububiah?!.

2. Nabi Hud a.s ketika berdialog dengan orang musyrikin tentang patung-patung sembahan mereka dan ketika diterangkan kepada mereka bahawa sembahan mereka itu tidak berkuasa untuk mendatangkan sesuatu kepada mereka melainkan Allah, mereka berkata: Kami hanya boleh berkata bahawa setengah daripada tuhan-tuhan kami telah mengenakanmu sesuatu penyakit gila (disebabkan engkau selalu mencaci penyembahan kami itu). (Hud: 54)

Kepercayaan bahawa sembahan-sembahan mereka boleh mendatangkan kesan yang buruk, jelas menunjukkan bahawa orang musyrik mempercayai pada sembahan-sembahan mereka ada kekuasaan yang boleh melakukan sesuatu perbuatan dan mendatangkan kesan mudarat atau manfaat.

Ini menunjukkan bahawa orang musyrikin tidakpun mengesakan Allah pada rububiah tetapi menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain pada tauhid uluhiah. Iktikad mereka ini ternyata berbeza dengan apa yang dipercayai oleh pendokong bidaah pembahagian tauhid.

3. Allah SWT berfirman: Tidakkah engkau pelik memikirkan (wahai Muhammad) tentang orang yang berhujah membantah Nabi Ibrahim (dengan sombongnya) mengenai tuhannya (Rabb) kerana Allah memberikan orang itu kuasa pemerintahan? Ketika Nabi Ibrahim berkata: Tuhanku (Rabbi) ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Ia (Namrud) menjawab: Aku juga boleh menghidupkan dan mematikan. (al-Baqarah: 258)

Berdasarkan ayat di atas jelas dapat dilihat, Namrud telah mendakwa dirinya dengan perkara yang berkaitan tentang rububiah seperti mempunyai kerajaan, kekuasaan dan pemerintahan.

Dia juga mempercayai mempunyai keistimewaan rububiah yang boleh menghidupkan dan mematikan. Kemudian selepas itu, dia berdebat dengan Nabi Ibrahim a.s tentang Rabbnya (tuhan yang menjadikan) dan bukan tentang Ilahnya (tuhan yang disembah) sebagaimana penggunaan istilah dalam ayat tersebut.

Adakah selepas penjelasan ini, masih ada yang mendakwa: Sesungguhnya Namrud adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah dan Nabi Ibrahim a.s telah datang kepadanya untuk mengajak kepada tauhid uluhiah sahaja?

4. Allah SWT telah berfirman dalam menceritakan tentang Nabi Yusuf a.s yang mengajak sahabat-sahabat sepenjaranya kepada akidah tauhid yang suci:

Wahai sahabat sepenjaraku berdua! Memuja dan menyembah berbilang-bilang tuhan (Arbaab - jama' kepada Rabb) yang bercerai-berai itukah yang lebih baik atau menyembah Allah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Berkuasa? (Yusuf: 39)

Marilah bersama saya memerhatikan perkataan Nabi Yusof a.s ketika mempersoalkan tentang Tuhan yang lebih baik disembah: "Adakah Tuhan-tuhan (Arbab) yang bercerai-berai. Beliau tidak berkata: "Tuhan-tuhan (Aalihah - jamak kepada Ilah)."

Adalah jelas bahawa penghuni penjara menyembah lebih daripada satu Rabb dan lebih daripada satu Ilah.

Adakah masih boleh diterima oleh akal yang sejahtera, jika dikatakan: Orang-orang musyrikin bertauhid dengan tauhid rububiah dan Nabi Yusuf datang kepada mereka dengan membawa tauhid uluhiah sahaja? Maha Suci Allah, ini adalah suatu pembohongan yang besar!.

5. Allah SWT berfirman menceritakan tentang Firaun yang berkata ketika menakut-nakutkan kaumnya agar mereka mentaatinya. Firaun berkata: Akulah tuhan kamu (Rabbukum) yang tertinggi. (al-Naazi'aat: 24)

Demikianlah dakwaan rububiah Firaun bagi dirinya dan dia cuba mengagamakan kaumnya dengan rububiah ini. Maka dari sini, tidakkah ada langsung sebesar zarah perasaan salah bagi mereka yang mendakwa bahawa Firaun dan kaumnya bertauhid dengan tauhid rububiah dan telah datang kepada mereka Musa Kalimullah a.s dengan tauhid uluhiah sahaja?

Di ketika yang lain, Firaun juga mendakwa uluhiah bagi dirinya ketika dia berkata: Wahai orang-orangku, aku tidak mengetahui adanya bagi kamu sebarang tuhan (ilah) selain daripadaku. (al-Qasas: 38)

Ini menunjukkan bahawa tidak ada perbezaan di antara rububiah dan uluhiah. Oleh kerana itu, sesiapa yang mendakwa dirinya dengan rububiah, maka dia telah menjadikan dirinya Ilah (sebagai tuhan yang patut disembah).

Sesiapa yang mendakwa dirinya dengan uluhiah pula, maka dia telah menjadikan dirinya sebagai Rabb (tuhan yang menciptakan, mentadbir dan sebagainya) bagi orang lain.

6. Mayat-mayat yang berada di dalam kubur, masing-masing tidak ditanya tentang uluhiah dan tauhidnya, tetapi malaikat akan bertanya kepadanya: Man Rabbuka? (Siapakah rab (tuhan) kamu?"

Sekiranya tauhid itu seperti yang dipercayai oleh Ibnu Taimiyyah, yang mana semua manusia di sisinya beriktikad dengan tauhid rububiah, kenapakah soalan malaikat ini masih diperlukan dan bermanfaat?

Ini menunjukkan bahawa dakwaan Ibnu Taimiyyah adalah tidak benar dan palsu semata-mata.

Kesimpulannya, orang yang syirik pada uluhiahnya dikira sebagai syirik pada rububiahnya juga. Sesiapa yang syirik pada rububiah maka dia juga adalah syirik pada uluhiah.

Minggu hadapan kami akan mengemukakan dalil-dalil mereka dan jawapan ulama tentang kesamaran dakwaan mereka. Benarlah perumpamaan Quraniy bahawa, sesungguhnya rumah yang paling rapuh ialah rumah labah-labah. (al-Ankabut: 41). Wallahu a'lam.

Selasa, Disember 15, 2009

Tiryaaq Mujarrab

Syaikh Ma'ruf al-Karkhi QS atau nama penuhnya Abu Mahfudz Ma'ruf bin Fairuz al-Karkhi adalah seorang wali besar yang dimakamkan di Kota Baghdad (di sebelah adalah foto makam beliau). Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi dalam "Syarhul 'Ainiyyah" halaman 64 - 67 menyebut antara lain:-

"Beliau adalah seorang syaikh besar yang mustajab doanya, penduduk Baghdad beristisqa' dengan kuburnya (yakni bertawassul dengan beliau untuk memohon Allah menurunkan hujan) dan menyatakan bahawa kuburnya itu adalah tiryaaq mujarrab (penawar yang mujarrab)..... Sesiapa yang ada hajat kepada Allah, maka berdoalah kepada Allah di sisi kuburnya (yakni kubur Syaikh Ma'ruf), sesungguhnya Allah akan mengabulkan permohonannya. Dan sebahagian ulama menyatakan bahawa kubur Ma'ruf adalah tiryaaq (penawar) yang mujarrab (sebagai sebab) untuk menunaikan segala hajat."

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi cuma mengutip pernyataan para ulama sebelum beliau mengenai keutamaan Syaikh Ma'ruf, antaranya sebagaimana yang disebut oleh guru beliau sendiri iaitu al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad.

Maka telah menyebut al-Imam al-Quthub al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad rahimahumUllah dalam karya beliau "Sabilul Iddikar" halaman 64 sebagai berikut:-
"Demikian pula apabila menziarahi kubur-kubur para sholihin maka perbanyakkanlah berdoa di sisinya kerana di antara mereka ada yang Allah jadikan doa di sisi kuburnya mustajab. Perkara seumpama ini mujarrab sehingga penduduk Baghdad menamakan kubur as-Sayyid al-Imam Musa bin al-Imam Ja'far ash-Shoodiq sebagai "at-Tiryaaq al-Mujarrab", iaitu kerana mustajabnya segala doa dan jadi sebab tersingkapnya segala keperluan. Dan demikianlah pula dengan kubur Ma'ruf al-Karkhi dinamakan sedemikian juga dan adalah kuburnya di Baghdad juga."
Rasanya sejarah hidup Syaikh Ma'ruf telah dikenali ramai. Di sini kita bawakan sekelumit mengenai tawadhu` dan khumulnya beliau. Diceritakan bahawa pada satu hari Syaikh Ma'ruf sedang berpuasa sunnat. Tiba-tiba beliau mendengar seorang saudagar berteriak dengan katanya: "Semoga Allah merahmati orang yang sudi meminum airku ini." Mendengar suara saudagar tersebut, Syaikh Ma'ruf telah menghampirinya dan meminum air yang diberikan oleh si saudagar tersebut, walaupun sebelumnya beliau berpuasa. Murid-murid beliau kehairanan dengan tindakan Syaikh tersebut, lalu ada yang bertanya: "Bukankah tuan sedang berpuasa?" Syaikh Ma'ruf al-Karkhi menjawab: "Ya, tetapi aku berbuka dan meminum airnya kerana ingin termasuk dalam doanya (yakni ingin memperolehi doa rahmatnya tadi)."

Allahu ... Allah, lihatlah bagaimana khumulnya Syaikh Ma'ruf yang meninggalkan puasa sunnatnya semata-mata ingin mendapat doa si saudagar tersebut. Bayangkanlah di mana darjat Syaikh Ma'ruf dan di mana pula maqam si saudagar tersebut. Mungkin ada di antara kita yang tidak atau kurang menghargai doa orang lain, dengan anggapan bahawa kita sendiri pun tahu untuk berdoa maka tidak perlulah kepada doa orang lain. Sebenarnya, perasaan sedemikian adalah petanda bahawa dalam diri kita masih ada unsur bangga diri atau membesarkan diri dan kurangnya tawadhu` dan khumul. Juga jangan lupa pada kehebatan tawadhu` Junjungan Nabi SAW yang sanggup berpesan doa daripada Sayyidina `Umar RA, dan demikian juga tawadhu`nya Sayyidina 'Umar RA dan Sayyidina 'Ali sehingga sanggup memohon doanya Sayyidina 'Uwais RA.

Berapa ramai yang tidak mahu mengaminkan doa imamnya setelah sholat berjemaah atas alasan -"Ya semua orang boleh berdoa masing-masing, jadi apa perlu aku mengaminkan doa orang lain, aku sendiri pun boleh berdoa". Mungkin ada yang terlintas begitu di benaknya apabila bangkit meninggalkan jemaah yang sedang mengaminkan doa imam. Teringat akan kata-kata seorang guru - "Orang dulu setelah sholat wiridannya Allahumma antas Salam, sekarang ramai yang wiridannya Allahumma lantas jalan." Alasan-alasan bid`ah dan sebagainya hanya seumpama serbuk perasa untuk menyedapkan keegoan diri. Moga Allah lenyapkan sikap bangga diri kita dan menjadikan kita insan yang khumul berkat Syaikh Ma'ruf al-Karkhi .... al-Fatihah.

*********************************************
Pernyataan Syaikh Khatib al-Baghdadi tentang kubur Syaikh Ma'ruf
(Tarikh Baghdad, Juz 1, Halaman 134, Cetakan Darul Kutub Ilmiah 1417)

Sabtu, Disember 12, 2009

1000 Kali Haji

Alhamdulillah, bulan haji telah hampir menutup tirainya. Para jemaah kita yang menjadi tetamu ar-Rahman telah mula pulang ke tanahair membawa lembaran baru dalam kehidupan mereka. Moga segala amal ibadah mereka diterima dan dianugerahkan dengan haji mabrur, umrah mabrurah dan ziarah maqbulah. Namun di samping menunaikan haji, jangan pula lupa kepada rukun-rukun Islam yang lain, terutama sekali sholat 5 waktu. Amatlah malang jika seseorang yang dalam perjalanan menunaikan ibadah yang menjadi rukun Islam ke-5 untuk meninggalkan dengan sengaja akan rukun Islam lain yang lebih utama. Begitu juga dalam perjalanan kembalinya setelah menunaikan haji, bisakah mabrurnya haji seseorang yang meninggalkan sholat yang difardhukan dengan sengaja?

Maka al-'Alim al-'Allaamah al-Mufti al-Habib Utsman bin 'Abdullah bin 'Aqil BinYahya rahimahumUllah telah memberi ingatan dalam karya beliau "Irsyaadul Anaam" halaman 31 sebagai berikut:-

"... Istimewa pula jika tinggal sembahyang, samada laki-laki atau perempuan, maka rugi besar hingga berkata oleh setengah daripada ulama bahawa pahala 1000 kali haji tiada cukup buat menambal dosa tinggal satu fardhu sembahyang."

Allahu .... Allah, moga Allah jadikan kita sekalian serta anak cucu kita hamba-hambaNya yang sentiasa menunaikan sholat yang difardhukanNya dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukan.

Rabu, Disember 09, 2009

Tauhid Uluhiah & Rububiah - 3


Syarat sah syahadat kita adalah mengucap dengan lisan, membenarkan dengan hati dan beramal dengan anggota.












Menyorot ruangan Relung Cahaya minggu lepas, kita telah pun mempersoalkan dan membincangkan secara ringkas tentang sumber tauhid tiga serangkai ini.

Setelah kita mengetahui dengan jelas bahawa pembahagian tauhid kepada tiga ini tidak mempunyai sumber yang sahih di sisi syarak, maka pada minggu ini kami ingin mengajak pembaca menghalusi lagi penelitian tentang permasalahan ini agar kebenaran akan terserlah dan kebatilan akan terpadam.

Memandangkan pereka tauhid bidaah ini mengklasifikasikan tauhid kepada tiga, maka kami ingin mengemukakan persoalan, apakah terdapat perbezaan di antara tauhid uluhiah dan rububiah?

Sebelum persoalan ini dijawab, kami ingin berkongsi dengan pembaca tentang jawapan ringkas melalui e-mel yang kami terima daripada seorang pembaca yang pro-tauhid tiga serangkai ini.

Namun, jawapan yang mewakili penghantar tidak menjawab persoalan yang diutarakan pada minggu lepas.

Beliau hanya mengemukakan hujah hasil dari pemikiran Ibnu Taimiyyah seperti yang dapat dilihat di dalam kitab-kitabnya, sedangkan hujah Ibnu Taimiyyah ini telah lama disangkal oleh ulama ahli sunnah.

Perlu kita fahami, tidak semua ilmu yang diformulasikan atau semua hasil istiqra' (telaah) atau pemikiran seseorang itu boleh diterima jika tidak sejajar dengan al-Quran dan sunnah.

Apatah lagi, ilmu yang berkaitan dengan akidah yang mesti dirujuk dengan rapi dan betul kepada sumber yang sahih lagi mutawatir. Jika wujud kepincangan, maka ia tertolak sama sekali.

Kepincangan itu telah pun dibincangkan oleh ulama dan telah pun kami paparkan dan akan kami sebutkan, insya-Allah.

Menurut penghantar e-mel itu lagi, mengingkari tauhid tiga ini bererti tidak bertafaqquh terhadap kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebahagian dan tidak mengetahui sebahagian yang lainnya.

Dengan spontan benak hati kami bertanya, inikah jawapan yang sepatutnya kami peroleh daripada seseorang yang merasa telah bertafaqquh dengan kitab Allah?

Kami juga agak terkejut dengan kenyataan ini. Jika mereka yang mengingkari tauhid tiga ini dianggap tidak bertafaqquh dengan kitab Allah, bagaimanakah kedudukan ulama dan para sarjana yang telah saya sebutkan pada siri pertama yang mengingkari pembahagian tauhid ini?

Apakah al-Azhar, sebuah universiti yang diiktiraf oleh dunia Islam, mempunyai ulama dan tokoh-tokoh yang lemah kefahamannya tentang kitab Allah? Bagaimana pula dengan Mufti Mesir yang telah menafikan dengan lantang perkara ini di dalam fatwanya?

Apa pun jawapan yang dikemukakan oleh pro tauhid tiga serangkai ini, ia telah kami rujuk di dalam kitab asalnya yang sememangnya tersimpan kemas di perpustakaan kami.

Ramai ulama yang telah menjawabnya, cuma pada keluaran kali ini kami tidak berkesempatan untuk menyertakannya.

Sebaiknya kita tinggalkan dahulu tajuk ini dan kembali kepada persoalan hari ini.

Kenapa soalan ini dikemukakan dan sebelum persoalan ini dijawab, kami ingin nyatakan di sini bahawa melalui tauhid tiga serangkai ini didapati perekanya, Ibnu Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya telah menyatakan bahawa:

1. Orang musyrik atau orang yang menyekutukan Allah adalah ahli tauhid (orang yang mengesakan Allah) dengan tauhid rububiah.

2. Tauhid orang musyrik ini samalah dengan tauhid sebahagian orang Islam yang bertawassul, beristighathah dan bertabarruk dengan para nabi dan orang-orang soleh.

Ini bermaksud orang Islam yang bertawassul (memohon kepada Allah melalui perantaraan), beristighathah (menyeru minta tolong) dan bertabarruk (ambil berkat) samalah dengan orang musyrik kerana tidak memiliki tauhid uluhiah kerana dianggap menyembah apa yang ditawassulkan.

Kenyataannya berbunyi: "Tauhid rububiah sahaja tidak menafikan kekufuran seseorang dan tidak mencukupi bagi keimanan/keislaman seseorang". (Risalah Ahli al Suffah H: 34.)

"Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah. Mereka tidak termasuk dari kalangan ahli tauhid uluhiah kerana telah mengambil sembahan-sembahan yang lain untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT".

Mereka juga menyatakan: "Sesungguhnya orang-orang Islam yang bertawassul dan beristighathah dengan para Nabi dan orang-orang soleh serta bertabarruk dengan mereka (para nabi dan orang-orang soleh), adalah kufur. Bahkan, kekufuran mereka lebih dahsyat daripada kekufuran Abu Lahab, Firaun, Haman dan lain-lain". (Fatawa Ibni Taimiyyah 14/380).

Ini adalah antara kenyataan yang tidak ditulis dan tidak ditemui di dalam kebanyakan kitab-kitab berkaitan pembahagian tauhid ini di Malaysia.

Di negara kita, tauhid ini masih berada dalam peringkat pengenalan. Tetapi jika kita merujuk kepada kitab Ibnu Taimiyyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab dan pemuka-pemukanya, kenyataan ini banyak ditulis di dalam kitab-kitab mereka. Inilah natijah sebenar yang akan kita dapati dari pembahagian tauhid ini.

Oleh kerana itu, kita dapati di kebanyakan negara timur tengah yang telah lama memakai tauhid ini berlaku pergolakan, perpecahan dan pembunuhan akibat gejala sembarangan mengkafirkan dan menghalalkan darah umat Islam yang dianggap menyanggahi tauhid ini.

Malah, dengan tauhid inilah menyebabkan berlakunya keruntuhan kepada Empayar Uthmaniyyah yang merupakan empayar terbesar Islam suatu ketika dahulu. Insya-Allah, perinciannya akan kami susuli pada keluaran akan datang.

Apa yang pasti, kenyataan Ibnu Taimiyyah ini jelas bertentangan dengan dalil-dalil syarak dan telah diketahui secara dharuri di sisi ulama.

Bagi menjelaskan tentang kesalahan dan kebatilan pendapat mereka ini, maka soalan ini dijawab: Sesungguhnya tidak ada perbezaan di antara tauhid uluhiah dan tauhid rububiah.

Kedua-duanya adalah perkara yang sama dan tidak boleh dipisahkan serta tidak menerima sebarang pembahagian. Allah tidak menerima daripada hamba-hamba-Nya, melainkan akidah tauhid yang tulus dan suci kepada-Nya, Tuhan sekelian alam, yang dilafazkan dengan lidah, diiktikad dengan hati, diamalkan dengan anggota jasad dan dimanifestasikan dengan kalimah (Laa Ilaaha Illallah).

Dengan perkara inilah, semua Nabi dan Rasul diutuskan.

Adakah orang kafir ahli tauhid?

Terhadap pendapat yang menyatakan bahawa orang kafir dan musyrik sejak zaman berzaman adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah dan para Rasul a.s tidak diutuskan melainkan dengan tauhid uluhiah.

Jawabnya: Hakikatnya, pendapat ini merupakan suatu perkara yang telah menutup pintu kebenaran dan hakikat, menyalahi akal dan syarak dan mendustai penjelasan daripada nas-nas al-Quran dan sunnah.

Perkara ini juga merupakan perkara bidaah yang sesat dan tidak terdapat pada umat salaf yang terawal. Tauhid seperti ini meruntuhkan akidah dan bersifat saling bercanggah.

Dalam satu masa, mereka telah menjadikan sekelompok orang Islam sebagai ahli tauhid dan bukan ahli tauhid. Ini suatu perkara yang pelik.

Sedangkan, realitinya ialah seseorang itu mesti berada di salah satu kedudukan, iaitu sama ada berada dalam kedudukan ahli tauhid atau pun musyrik. Tidak boleh seseorang itu berada di antara dua keadaan (tauhid dan kufur).

Kepercayaan mereka juga tentang ketauhidan orang musyrik dengan tauhid rububiah tidaklah benar. Bahkan dakwaan ini adalah suatu penipuan yang ditolak sama sekali oleh akal dan naqal.

Insya-Allah, kami akan mengemukakan dalil-dalil dari akal dan naqal pada minggu hadapan.

Sesungguhnya perkara yang paling pelik ialah menganggap orang kafir sebagai ahli tauhid dan menganggap orang Islam yang telah mengucapkan kalimah tauhid sebagai bukan ahli tauhid.

Renungilah! Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadat 70 tahun. Ibadah Abu Darda' r.a yang paling utama selepas melaksanakan kefarduan ialah bertafakur kerana dengannya dia sampai kepada hakikat suatu perkara dan membezakan di antara yang hak dan batil.

Bahkan, dengannya juga dia dapat menilik kerosakan dan helah nafsu yang halus, tipu daya dunia, dan mengenali helah-helah untuk lebih berwaspada dengannya.

Isnin, Disember 07, 2009

Setakat Satu Putaran

Imam Abu Laits as-Samarqandi atau nama penuhnya Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Faqih al-Hanafi rahimahUllah (wafat 373H), menceritakan bahawa pernah satu ketika Imam Hasan al-Bashri RA melihat seorang lelaki bertawaf mengelilingi BaitUllah dengan membawa sebuah keranjang besar dari daun kurma.

Maka Imam Hasan menegur lelaki tersebut dengan katanya: "Wahai tuan, lepaskanlah keranjangmu, hormatilah kesucian BaitUllah."

Lelaki tersebut menjawab: "Wahai Syaikh, dalam keranjang ini ada ibuku. Aku telah menggendongnya di bahuku sebanyak 7 kali haji. Aku menggendongnya dari kediamanku di kawasan Syam yang paling jauh hingga ke sini. Aku mengelilingi tempat-tempat perlaksanaan haji dan juga BaitUllah sambil menggendongnya, maka apakah aku sudah memenuhi haknya?"

Imam Hasan menjawab: "Seandainya kamu menggendongnya di atas bahumu selama 70 tahun dari belahan bumi yang paling jauh, maka itu pun kamu belum memenuhi hak ibumu dan barangkali apa yang telah engkau lakukan itu hanya untuk satu kali engkau berputar dalam perutnya."

Allahu ... Allah, sungguh besar hutang kita dengan ibu kita. PadaMu Ya Allah, kami memohon agar dibahagiakan ibu ayah kami dengan kami, jadikanlah kami penyejuk mata mereka, ampunilah kedua mereka serta tinggikanlah darjat mereka dalam syurgaMu. Allahumma aamiin.

**************************************

Sabtu, Disember 05, 2009

Setakat Satu Kesakitan

Imam al-Hafiz Nuruddin `Ali bin Abu Bakar al-Haitsami rahimahUllah, meriwayatkan dalam karya beliau "Majma` az-Zawaaid wa Manba` al-Fawaaid" pada bab maa jaa-a fil birri wa haqqil walidain seperti berikut:-
وعن بريدة أن رجلاً جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال‏:‏ يا رسول الله، إني حملت أمي على عنقي فرسخين في رمضاء شديدة لو ألقيت فيها بضعة من لحم لنضجت، فهل أديت شكرها‏؟‏ فقال‏:‏ "‏لعله أن يكون لطلقة واحدة‏"‏‏
Sayyidina Buraidah RA meriwayatkan bahawa pernah seorang lelaki datang mengadap Junjungan Nabi SAW dan berkata kepada baginda: " Wahai Utusan Allah, sesungguhnya aku telah memikul ibuku atas bahuku sejauh 2 farsakh dalam panas terik yang memasakkan daging, maka adakah aku telah menunaikan kewajipanku untuk berterima kasih / bersyukur kepadanya?" Junjungan Nabi SAW menjawab: "Barangkali untuk satu kesakitan yang dirasainya ketika melahirkan."

Allahu ... Allah, 1 farsakh, kalau ikut ulama kita dulu-dulu, jaraknya adalah 3 mil (mile) dan 1 mil itu 6000 hasta dan 1 hasta itu 24 jari melintang. Kalau ikut kiraan sekarang, 1 farsakh itu jaraknya adalah kira-kira 5.544 kilometer. Jadi 2 farsakh itu sama dengan 6 mil atau 36ooo hasta atau 11.09 kilometer. Jarak yang kalau ditempoh dengan berjalan kaki berlenggang tak bawak satu benda pun mengeluarkan peluh basah kuyup, senang cakap berpeluh abih, baik peluh jantan peluh betina. Inikan pula nak memikul orang, bukan bawak ngan kereta berhawa dingin ... Allahu ... Allah. Hadits ini walaupun tidak mencapai darjat shohih, tetap ianya boleh dijadikan panduan agar kita sedar dan insaf serta memberi perhatian lebih kepada ibu kita yang telah melahirkan kita ke dunia ini. Jasa yang amat sukar dan payah bahkan hampir mustahil untuk kita balas dengan setimpal. Fikirkanlah berapa banyak kesakitan dan kepayahan yang telah ditanggung oleh ibu kita untuk membawa kita ke alam dunia ini, yang pastinya banyak banyak banyak banyak dan bukan hanya satu kesakitan ... Allahu ... Allah. Hanya kepada Allahlah kita bermohon agar memberikan sebaik-baik balasan kepada ibu kita. Dan semoga Allah jadikan kita anak yang sentiasa berbakti kepada ibubapanya serta tidak lemah dan segan untuk jadi pemandu pribadi mereka.

**********************************

Antimazhab Ancam Syariat Islam

Peringatan Kepada Golongan Yang Menyeru Untuk Tidak Bermazhab


Oleh: Muhammad Rashidi bin Haji Wahab.*


Mungkin terdapat sesetengah golongan yang cetek penyelidikkan dan pengetahuannya tentang perbahasan di dalam ilmu-ilmu agama Islam berpendapat bahawa masyarakat awam pada hari ini tidak perlu mengikut mana-mana mazhab dan para ulama, masyarakat hanya perlu mengikut al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. sahaja secara terus. Mereka berpendapat sudah cukup dengan segulung ijazah sarjana ataupun Phd sudah melayakkan seseorang itu tidak mengikuti mana-mana mazhab. Tidak cukup dengan itu, mereka juga mengatakan mazhab adalah rekaan para ulama silam semata-mata dan tiada kaitan dengan Islam. Sesiapa sahaja yang mengikut mazhab termasuk di kalangan pelaku bidaah mungkar bahkan ada yang lebih dangkal lagi mengatakan seseorang itu telah sesat dan kafir. Adakah kenyataan seperti ini benar-benar ilmiah?


Apabila kenyataan seperti ini keluar dari mulut seseorang maka telah terbukti kecetekkan mereka di dalam memahami perbahasan para ulama muktabar. Mereka membayangkan bahawa para ulama mazhab terdahulu telah mengeluarkan fatwa tanpa sandaran atau lalai terhadap nas-nas al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. Penyakit seperti ini berpunca daripada pemikiran alLa Lamazhabiyyah (anti mazhab) yang menggesa masyarakat awam supaya tidak bermazhab. Sedangkan mengikuti kefahaman dan penjelasan dengan bertanyakan sesuatu masalah yang tidak diketahui kepada para ulama sesuatu yang diajar oleh agama Islam itu sendiri.


Firman Allah Taala bermaksud:

Maka hendaklah kamu bertanya kepada ahli zikir (alim ulama) seandainya kamu tidak mengetahuinya. (Surah al-Nahl: Ayat 43).


Berkata Imam Syatibi:

Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahid. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang bertaqlid adalah sama sahaja kerena mereka sedikitpun tidak mampu mengambil faedah daripadanya. Jadi masalah meneliti dalil dan istinbath (mengeluarkan hukum) bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan untuk melakukan hal tersebut. (Kitab: al-Muwafaqat).


Pujian patut diberikan terhadap usaha tegas pihak Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) yang menyedari bahaya pemikiran alLa mazhabiyyah ini lantas mengeluarkan risalah penerangan bertajuk Bahaya Anti Mazhab. Selain itu, salah seorang ulama Islam masa kini iaitu Syeikh Prof Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buti turut menulis sebuah kitab bertajuk alLa Mazhabiyyah Akhtar Bidaah Tuhaddid al-Syariah al-Islamiyyah (kitab ini ada diterjemahkan di dalam Bahasa Melayu) membicarakan perihal alLa Mazhabiyyah ini secara khusus. Selain daripada Syeikh Prof Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buti, masih ramai lagi ulama yang bangkit menjelaskan perkara ini melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah mereka supaya masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan kata-kata golongan ini. Pujian dan sokongan juga mesti diberikan terhadap pihak mufti-mufti negeri dan alim ulama tempatan yang sentiasa memberikan penjelasan kepada masyarakat awam berkenaan bahayanya fahaman alLa Mazhabiyyah.


Berkata Imam Ghazali:

Bagi golongan awam adalah wajib bagi mereka meminta pendapat dan mengikut (bertaqlid) dengan ulama. (Kitab: al-Mustasfa).


Jika mereka mendakwa dan mendabik dada dengan dakwaan mereka hendak mengikut al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. sahaja maka ketahuilah bahawa para ulama muktabar terdahulu beribu-ribu kali ganda lebih memahami dan mengenali sesuatu dalil itu sebelum mengeluarkan sebarang hukum. Kenyataan seperti ni seringkali kita dengari dari lidah-lidah mereka yang tidak memahami kedudukan khilaf mazhab di dalam Islam lantas memperkecilkan dan merendah-rendahkan para ulama muktabar terdahulu dengan anggapan para ulama terdahulu mengeluarkan hukum tanpa disandarkan secara tepat kepada al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. Mereka merasakan diri mereka terlalu hebat berbanding para ulama muktabar sedangkan asal mereka juga tidak terlepas daripada mengambil ilmu agama dari lidah-lidah dan kitab-kitab para ulama tersebut. Kita katakan kepada golongan ini: Benar, kami juga mengikuti al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. secara bersungguh-sungguh, akan tetapi ikutan kami dengan kefahaman dan penerangan daripada para ulama muktabar!


Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:

Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil ilmu (warisan ilmu) tersebut ia telah mengambil habuan yang paling sempurna. (Riwayat Ahmad, Tarmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah).


Mereka hanya berpegang dan menganggap bahawa pendapat mereka sahaja yang betul walaupun pada hakikatnya mereka tidak memahami dalil-dalil maksum. Golongan ini turut merasakan mereka sahajalah yang mengikuti al-Quran al-Karim dan as-Sunnah S.A.W. yang merupakan sumber utama untuk mengeluarkan hukum lantas mengatakan sesiapa yang tidak mengikut pendapat mereka adalah jumud, tidak tajdid, tidak ilmiah dan tidak memahami dalil-dalil. Adakah mereka juga maksum sepertimana Rasulullah S.A.W.?


Berkata Syeikh Prof Dr Yusof al-Qaradhawi:

Ya, benar kalian berpegang dengan nas maksum yang diwahyukan dari Allah Taala tetapi kefahaman kamu terhadap nas tersebut bukanlah wahyu apatah lagi maksum, kalian hanya berpendapat berdasarkan zahir nas sahaja. (Kitab: Kaifa Nataamalu Maa Turath).

Mendakwa boleh berijtihad oleh seseorang yang tidak berkelayakkan merupakan seburuk-buruk perkara dan kerosakkan yang paling merbahaya mengancam syariat Islam pada masa kini. Golongan ini menolak mazhab-mazhab dan mengingkari imam-imam mujtahidin bahkan menganggap imam-imam tersebut sebagai penyekat dan penentang syariat Islam. Mereka mendakwa bahawa imam-imam ini cuba mengalihkan perhatian manusia daripada syariat yang dibawa oleh Rasulullah S.A.W. kepada mazhab-mazhab tajaan mereka sendiri. Golongan ini merupakan pendukung slogan-slogan tertentu dengan selalu mengajak kepada perbahasan, perdebatan, pengkajian semula untuk menyokong pendapat mereka sendiri yang mengatakan ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram. Masyarakat yang harmoni pada suatu ketika dahulu menjadi riuh rendah dan kacau-bilau pada hari ini dengan isu-isu yang mereka bawakan ini.


Berkata Syeikh Prof Dr Yusof al-Qaradhawi:

Sesungguhnya ramai di kalangan golongan muda pada zaman sekarang yang hanya membaca beberapa kitab terutamanya di dalam ilmu hadis. Lantas merasakan mereka sudah pakar di dalam ilmu padahal mereka belum pun mengecapi permulaannya. Mendakwa mereka mampu berijtihad di dalam urusan agama, di dalam masa yang sama ilmu Bahasa Arab serta komponen-komponennya serta nahu dan saraf tunggang langgang. Seandainya anda menyoal mereka supaya irab sebaris ayat, mereka tidak mampu menjawabnya dengan baik. Mereka juga tidak mempelajari usul fiqh! Hanya meneka-neka sebarang dugaan kononnya mengetahui akan sebarang permasalahan. Hal ini menyebabkan mereka tidak mahir dengan ilmu fiqh apatah lagi untuk menyelami lautan perbahasan yang luas yang akan menjadikan mereka lebih mahir dan berkemampuan untuk memahami dengan baik. Sesungguhnya mereka ini sepertimana kata Imam Zahabi: Teringin untuk terbang tetapi tiada bulu. (Kitab: al-Sahwah al-Islamiyyah Min al-Murahaqah Ila al-Rusyd).


Kata-kata Syeikh Prof Dr Yusof al-Qaradhawi ini sememangnya benar-benar berlaku di kalangan masyarakat kita di Malaysia. Kita berani mengatakan jikalau kita bertanya kepada golongan ini, berapa banyakkah ayat-ayat al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. yang mampu mereka hafal dan fahami, kita yakin jawapan mereka ialah amat sedikit hafalan dan fahaman mereka walaupun telah memiliki segulung Phd. Ini belum ditanya lagi berapa banyakkah ilmu agama yang mereka pelajari dan fahami daripada para ulama serta pelbagai persoalan lain lagi. Bagaimanakah mereka boleh mendakwa mereka begitu memahami Islam dan mengatakan pendapat mereka sahajalah yang benar sedangkan ilmu-ilmu al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. belum mampu mereka kuasai sepenuhnya? Sedangkan para ulama muktabar yang telah memahami dan menguasai segala ilmu tidak merasa diri hebat bahkan merekalah yang paling merendah diri kerana takutkan Allah Taala.


Firman Allah Taala bermaksud:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah Taala di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.

(Surah Faathir: Ayat 28).

Adalah menjadi satu kesilapan besar apabila mencari hukum-hakam agama di dalam kitab-kitab matan hadis secara mentah. Seseorang yang hanya mengetahui nas-nas hadis tidak boleh berijtihad sendirian tanpa bantuan ahli fiqh yang mahir. Sedangkan ahli fiqh ini pula terdiri daripada golongan yang mesti menguasai ilmu-ilmu al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. sebelum mereka layak untuk mengeluarkan hukum-hakam. Golongan yang menegah orang lain daripada mengikut mazhab dan ulama muktabar adalah pencetus kepada tertubuhnya sebuah lagi mazhab yang baru. Mazhab ini adalah mazhab yang kelima tajaan mereka diri sendiri.


Berkata Syeikh Prof Dr Yusof al-Qaradhawi:

Ada golongan yang memerangi konsep bermazhab, memerangi mazhab fiqh dengan melarang walaupun daripada golongan awam untuk bertaqlid. Pada masa yang sama mereka bertaqlid dengan pandangan guru mereka maka jadilah mazhab yang kelima! (Kitab: al-Sahwah al-Islamiyyah Min Murahaqah Ila al-Rusyd).


Namun Islam tidak pernah menutup terus pintu ijtihad bagi sesiapa sahaja yang telah mencapai tahap ulama mujtahid dengan syarat-syarat yang amat ketat. Layakkah golongan tersebut mendakwa bahawa mereka mampu berijtihad sedangkan al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. tidak dihafal dan difahami? Jadilah kita seorang penuntut ilmu agama dengan terus-menerus belajar bersungguh-sungguh dan ikhlas. Tuntutlah ilmu sehingga ke akhir hayat. Moga-moga kita turut layak untuk menjadi salah seorang ulama pada suatu hari nanti dan bukan berlagak menjadi ulama. Wallahualam.


* Penulis adalah seorang mahasiswa dari Universiti Al-Azhar, Mesir. Penulis boleh dihubungi melalui email: shidi_buluh@yahoo.com dan blog: http://buluh.iluvislam.com.