Isnin, September 19, 2005

Imam Malik & 18 Soalan

Sengaja kuutarakan satu kisah yang telah ditulis dalam kitab-kitab sejarah dan ku dengar daripada lidah para masyaikhku, agar kisah ini menjadikan seseorang agar lebih berhati hati di dalam berbicara, apalagi berfatwa. Kisahnya seperti berikut:-
  • Imam Malik r.a. adalah seorang ulama besar dan pemimpin mazhab, dan beliau dijuluki "Imam Dar al-Hijrah". Akan tetapi sekalipun beliau seorang muhaddits dan faqih, beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa. Sehingga satu masa seseorang datang dari Baghdad ke Madinah khusus untuk bertanya kepada Imam Malik akan beberapa masalah (lihatlah semangatnya orang dulu, jalan jauh-jauh dari Baghdad hanya untuk beberapa masalah. Orang sekarang kadang majlis di depan rumahnya akan tetapi tidak hadir). Maka orang tersebut mengajukan lebih kurang 18 masalah. Tiga di antaranya dijawab oleh Imam Malik, sedangkan yang lain beliau hanya mengucapkan, "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu." (lihatlah bagaimana beliau berhati hati di dalam berfatwa, dan tidak malu untuk mengucapkan sesuatu yang belum pasti dengan kalimat, "Aku tidak tahu"). Maka orang tersebut berkata, "Ya Imam Malik, aku datang jauh-jauh hanya untuk menanyakan kepadamu masalah ini, sedangkan engkau hanya mengucapkan tidak tahu?" Berkata Imam Malik, "Dari mana engkau datang?" Jawabnya, "Aku datang dari Baghdad." Imam Malik, "Masjid mana yang menaranya paling tinggi di Baghdad?" Lalu ia menjawabnya seraya menyebutkan nama suatu masjid yang paling tinggi menaranya di Baghdad. Lantas berkata Imam Malik berkata, "Bila engkau pulang ke Baghdad, pergilah ke masjid tersebut dan naiklah kepuncak menaranya, lantas berteriaklah dengan sekuat suaramu agar semua orang mendengar bahwa Malik bin Anas adalah orang yang paling bodoh."
Kalau Imam Malik ulama besar seperti takutnya dalam memberi fatwa dan jawapan bagi persoalan agama, maka sekarang banyak orang yang nama 25 rasul yang disebutkan di Al-Qur'an saja tidak hafal, bahkan syurut istinja' belum hafal, akan tetapi berani berbicara dalam syariat seenak perutnya dan berfatwa berdasarkan pendapatnya sahaja. Syariat bukan "menurutku... menurutmu..." dan bukan pula "pendapat saya...... perasaanku........" Akan tetapi "barang siapa berbicara akan Al-Qur'an menurut pendapatnya (dalam riwayat yang lain : tanpa didasari ilmu), maka bersiap-siaplah akan singgahsananya di neraka" (Hadits). Begitu juga dalam hadist dan syariat islam. Tapi zaman sekarang, pedagang pun bicara hukum, bahkan peminum dan zindiq, ilmu sudah jadi bualan kedai kopi....Allahu Allah.

1 ulasan:

  1. Memang betul apa yang saudara/saudari utarakan. Malang betul orang sekarang, termasuk saya sendiri...

    BalasPadam