Pemindahan Tempat Ibadah Haji Dibahas 150 Ulama
Ahad, 13 April 2008 15:55
Semarang, NU Online
Sekitar 150 ulama akan membahas keabsahan ibadah haji terhadap pemindahan sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah Saudi Arabia.
Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancaoro, Gedangan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang K.H. Mahfudz Ridwan dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu, mengatakan, pembahasan itu akan dipandu Mustasyar PBNU yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang K.H. A. Mustofa Bisri dan Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang K.H. Abdurrohman Chudlori.
Mahfudz mengemukakan, pemindahan sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah Saudi Arabia, yakni tempat melempar jumrah (salah satu rukun haji) yang dulu terdapat tugu sekarang diganti tembok.
Kemudian, tempat menginap (mabit) yang seharusnya di Mina (salah satu wajib haji) sekarang dipindahkan ke Muzdalifah, dan tempat pelaksanaan sai, yakni salah satu rukun haji berupa lari-lari kecil pulang pergi tujuh kali, yang semula di antara Bukit Sofa dan Marwah dipindah di antara gunung Qubes dan Qararah.
Perubahan tersebut, menurut Mahfudz, pasti akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari umat Islam, terutama mengenai sah dan tidaknya pelaksanaan ibadah haji yang akan dijalankan umat Islam pada waktu yang akan datang.
Menurut dia, pertanyaan tersebut sangat wajar, sebab dalam keyakinan umat Islam yang memahami fikih, apabila seseorang tidak dapat melaksanakan salah satu rukun haji maka secara keseluruhan ibadah hajinya batal alias tidak sah.
Pemindahan tempat sai, yang dalam teks Alquran disebutkan dengan jelas tempat sai di antara Bukit Sofa dan Marwah, katanya, akan memunculkan keresahan umat Islam karena kemudian sai sebagai salah satu rukun haji tidak berada pada tempat sebagaimana yang telah ditetapkan aturan Islam.
Dengan demikian maka umat Islam akan memiliki kesimpulan, dengan dipindahkannya sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji maka pelaksanaan ibadah haji menjadi tidak sah menurut ajaran Islam.
"Terhadap permasalahan tersebut, para ulama dan juga ormas keagamaan Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya harus segera merumuskan kebijakan dan sikap yang pasti," kata Mahfudz.
Karena itu, menurut dia, para ulama perlu segera melakukan kajian mendalam mengenai aturan-aturan pelaksanaan ibadah haji berdasarkan Alquran dan sunah Nabi Muhammad untuk membuat konsensus (ijmak) guna menetapkan hukum sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah haji yang sebagian tempatnya sudah diubah oleh Pemerintah Saudi Arabia.
Dengan adanya konsenses hukum yang dilakukan para ulama, menurut dia, akan menghindarkan umat Islam dari kecemasan dan keresahan berkepanjangan.
Apabila hasil ijmak para ulama menetapkan bahwa perubahan sebagian tempat pelaksanaan ibadah haji menyebabkan batalnya keabsahan haji, maka pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mengajak pemerintah negara-negara Islam di dunia untuk mendesak Kerajaan Arab Saudi agar mengembalikan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji pada asalnya.
Namun, katanya, apabila hasil ijmak para ulama menetapkan bahwa perubahan sebagian tempat pelaksanaan ibadah haji tersebut tidak memengaruhi keabsahan haji, perlu dilakukan sosialisasi kepada umat Islam secara luas.
Sebagai wujud tanggung jawab kepada umat Islam, Mahfudz Ridwan mengundang kiai-kiai dan para pengelola kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) se Jawa Tengah dalam kegiatan "munadhoroh" (semacam seminar) untuk membahas permasalahan tersebut pada tanggal 15 April 2008 di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan, Kabupaten Semarang.
"Saya juga berharap Kakanwil Depag Jateng dapat menghadiri kegiatan ini dengan harapan nantinya dapat menyampaikan hasil pembahasan permasalahan tersebut kepada Pemerintah RI melalui Departemen Agama," demikian Mahfudz Ridwan.
Sekitar 150 ulama akan membahas keabsahan ibadah haji terhadap pemindahan sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah Saudi Arabia.
Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancaoro, Gedangan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang K.H. Mahfudz Ridwan dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu, mengatakan, pembahasan itu akan dipandu Mustasyar PBNU yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang K.H. A. Mustofa Bisri dan Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang K.H. Abdurrohman Chudlori.
Mahfudz mengemukakan, pemindahan sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah Saudi Arabia, yakni tempat melempar jumrah (salah satu rukun haji) yang dulu terdapat tugu sekarang diganti tembok.
Kemudian, tempat menginap (mabit) yang seharusnya di Mina (salah satu wajib haji) sekarang dipindahkan ke Muzdalifah, dan tempat pelaksanaan sai, yakni salah satu rukun haji berupa lari-lari kecil pulang pergi tujuh kali, yang semula di antara Bukit Sofa dan Marwah dipindah di antara gunung Qubes dan Qararah.
Perubahan tersebut, menurut Mahfudz, pasti akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari umat Islam, terutama mengenai sah dan tidaknya pelaksanaan ibadah haji yang akan dijalankan umat Islam pada waktu yang akan datang.
Menurut dia, pertanyaan tersebut sangat wajar, sebab dalam keyakinan umat Islam yang memahami fikih, apabila seseorang tidak dapat melaksanakan salah satu rukun haji maka secara keseluruhan ibadah hajinya batal alias tidak sah.
Pemindahan tempat sai, yang dalam teks Alquran disebutkan dengan jelas tempat sai di antara Bukit Sofa dan Marwah, katanya, akan memunculkan keresahan umat Islam karena kemudian sai sebagai salah satu rukun haji tidak berada pada tempat sebagaimana yang telah ditetapkan aturan Islam.
Dengan demikian maka umat Islam akan memiliki kesimpulan, dengan dipindahkannya sebagian tempat-tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji maka pelaksanaan ibadah haji menjadi tidak sah menurut ajaran Islam.
"Terhadap permasalahan tersebut, para ulama dan juga ormas keagamaan Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya harus segera merumuskan kebijakan dan sikap yang pasti," kata Mahfudz.
Karena itu, menurut dia, para ulama perlu segera melakukan kajian mendalam mengenai aturan-aturan pelaksanaan ibadah haji berdasarkan Alquran dan sunah Nabi Muhammad untuk membuat konsensus (ijmak) guna menetapkan hukum sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah haji yang sebagian tempatnya sudah diubah oleh Pemerintah Saudi Arabia.
Dengan adanya konsenses hukum yang dilakukan para ulama, menurut dia, akan menghindarkan umat Islam dari kecemasan dan keresahan berkepanjangan.
Apabila hasil ijmak para ulama menetapkan bahwa perubahan sebagian tempat pelaksanaan ibadah haji menyebabkan batalnya keabsahan haji, maka pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mengajak pemerintah negara-negara Islam di dunia untuk mendesak Kerajaan Arab Saudi agar mengembalikan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji pada asalnya.
Namun, katanya, apabila hasil ijmak para ulama menetapkan bahwa perubahan sebagian tempat pelaksanaan ibadah haji tersebut tidak memengaruhi keabsahan haji, perlu dilakukan sosialisasi kepada umat Islam secara luas.
Sebagai wujud tanggung jawab kepada umat Islam, Mahfudz Ridwan mengundang kiai-kiai dan para pengelola kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) se Jawa Tengah dalam kegiatan "munadhoroh" (semacam seminar) untuk membahas permasalahan tersebut pada tanggal 15 April 2008 di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan, Kabupaten Semarang.
"Saya juga berharap Kakanwil Depag Jateng dapat menghadiri kegiatan ini dengan harapan nantinya dapat menyampaikan hasil pembahasan permasalahan tersebut kepada Pemerintah RI melalui Departemen Agama," demikian Mahfudz Ridwan.