Mengikut Para Fuqaha
Salah seorang sahabat Imam Malik yang bernama Ma'an ibn Isa berkata : Suatu hari Imam Malik pulang dari masjid. Beliau lalu diikuti oleh seorang laki-laki yang bernama Abu Juwairiyyah. Setelah keduanya bertemu, bertanya Abu Juwairiyyah kepada Imam Malik : "Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Malik), dengarkan perkataanku ini. Aku akan mengajukan pertanyaan dan meminta jawaban darimu!" Imam Malik berkata, "Bagaimana jika engkau dapat mengalahkanku?." Abu Juwairiyyah menjawab, "Engkau harus mengikutiku." Imam Malik bertanya lagi, "Bagaimana jika aku dapat mengalahkanmu?" Ia menjawab, "Aku akan mengikutimu." Imam Malik bertanya lagi, "Bagaimana jika ada orang lain datang kepada kita, lalu berdebat dan dia dapat mengalahkan kita?" Ia menjawab, "Kita akan mengikutinya." Imam Malik ra lalu berkata, "Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW dengan membawa satu agama, dan sekarang aku melihatmu gampang sekali berpindah-pindah pendapat." Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra berkata : "Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai alat pertengkaran/perdebatan, maka pasti orang itu akan sering melakukan tanaqqul (mudah berpindah-pindah pendapat)." Seperti itulah orang yang mengaku dirinya mengikuti dalil, dengan tanpa melalui prosedur mengikuti para Imam. Ia akan lebih suka mengikuti pendapat yang belum pernah dikemukakan orang lain, dilemanya ia tidak menyadarinya. Bahkan ia merasa telah membela Sunnah dan menganjurkan untuk mengikutinya. Hal ini amat berbahaya dan dapat memperdaya generasi sesudahnya. Imam Malik telah memperingatkan tentang hal ini dengan ungkapan yang amat bagus : "Hormatilah para Imam itu dan janganlah kalian mendebat mereka!. Kalau setiap orang yang datang kepada kita dengan membawa argumentasinya, lalu kita terima dengan mudah, maka kami mengkhawatirkan bahwa argumentasi yang kita singkirkan itu adalah Jibril AS." Semoga ridha Allah dilimpahkan kepada Sufyan bin Uyainah yang telah berkata, "Taat kepada para fuqaha adalah keselamatan dalam agama."
[Dipetik dari "Melacak Akar Perbedaan Madzhab", karangan Syaikh Muhammad Awwanah, pensyarah Universiti ar-Raudhah, Aleppo, Syria, hal 56-57, cetakan I, penerbit Pustaka Hidayah]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan