Rabu, Julai 29, 2020

Doa Arafah Seorang Shalih

Alhamdulillah
, sampai umur kita menemui hari Tarwiyah, mudah-mudahan sampai pula ke hari - hari 'Arafah, 'Aidul Adha dan Tasyrik. Hari - hari yang mempunyai kelebihan untuk menambah bekalan kita menuju hari - hari yang panjang tiada berkesudahan nanti. Sekadar berkongsi bagi sesiapa yang sudi, sepotong doa yang pendek yang pernah diamalkan oleh para shalihin. Doa yang intinya permohonan agar Allah ar-Rahman menganugerahkan kita ganjaran, fadhilat dan kelebihan amalan dan hari 'Arafah. Yakni agar kita disyarikatkan atau disekutui atau mendapat bahagian dan saham dalam ganjaran dan kelebihan yang dilimpahkan Allah `azza wa jalla dalam hari yang mulia tersebut.

Doa ini faqir nukil dari kitab Nuzhatul Majaalis karangan Syaikh 'Abdur Rahman ash-Shafuri rahimahullah. Faqir sedar bahawa kitab ini mengandungi hadis - hadis yang bermasalah sehingga ada ulama yang menolaknya. Namun, tidak sedikit ulama yang menjadikan karangan ini sebagai panduan, terutama sekali dalam perkara fadhilat, zikir dan doa. Syaikh 'Abdur Rahman bin `Abdus Salam ash-Shafuri rahimahullah adalah seorang ulama Mekah yang dikenali sebagai seorang sejarawan (mu`arrikh) dan seorang sastrawan (adib). Beliau bermazhab Syafie dan wafat dalam tahun 894H / 1489M). Antara karya - karya lain beliau adalah al-Mahaasinul Mujtama`ah fil Khulafaa-il Arba`ah, ash-Shiyam, dan Shalaahul Arwaah wath Thariiqi ila Daaril Falaah. Namun, karya beliau yang paling masyhur dan banyak beredar adalah kitab Nuzhatul Majaalis. Berbalik kepada doa yang akan perhamba nukilkan di sini adalah doa yang berasal dari seorang shalih, tiada dinisbahkan kepada Junjungan Nabi shallaAllahu `alaihi wa sallam, maka tidaklah timbul isu hadis palsu, dhaif atau seumpamanya. 

Di halaman 209 Nuzhatul Majaalis, Syaikh `Abdur Rahman mendatangkan satu hikayat seperti berikut:- Hikayat: Telah berkata sebahagian orang shalih bahawa beliau telah melihat seorang lelaki di Mekah yang berdoa: "Allahumma bi haqqi shaa-imii 'Arafah, laa tahrimni tsawaaba 'Arafah (Wahai Allah, dengan kemuliaan orang - orang yang berpuasa pada hari 'Arafah, janganlah hendaknya Engkau tegahkan aku daripada memperolehi ganjaran pahala pada hari 'Arafah)." Lalu aku bertanya kepadanya mengenai doa tersebut. Dia menjawab: "Adalah ayahku berdoa dengan doa tersebut. Ketika mana beliau wafat, aku telah bermimpi bertemu dengannya, lalu aku bertanya: "Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?" Dia menjawab: "Aku telah diampunkan dengan berkat doa ini, tatkala aku dibaringkan dalam kuburku telah datang kepadaku nur, lalu dikatakan kepadaku: "Inilah pahala 'Arafah yang telah Kami muliakan engkau dengannya." 

Kisah ini turut dinukilkan oleh para ulama Nusantara dalam karya - karya mereka. Misalnya, Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani rahimahullah menukilkannya dalam al-Bahjatul Mardhiyyah dan Tok Syaikh Wan Ahmad al-Fathani rahimahullah dalam Bada-i`uz Zuhuur. Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani @ Syaikh Nik Mat Kecik menulis dalam al-Bahjatul Mardhiyyah pada halaman 141 - 142 sebagai berikut:- ... Dan hikayat setengah daripada shalihin katanya: "Aku lihat seorang laki - laki di Mekah berkata ia: "Allahumma bi haqqi shaa-imii 'Arafah, laa tahrimni tsawaaba 'Arafah",yakni "Hai Tuhanku, dengan sebenar segala orang yang puasanya 'Arafah, jangan Engkau haramkan daku pahala 'Arafah". Maka bertanya aku baginya pada sebut yang demikian itu. Maka katanya: "Adalah bapaku mendoa ia dengan doa ini, maka tatkala matinya, aku lihat akan dia di dalam tidur, maka kataku baginya: "Apa yang diperbuat Allah dengan dikau?" Katanya: "Diampuni bagiku dengan doa ini dan tatkala dihantarkan daku pada kuburku, mendatang akan daku nur, maka dikatakan bagiku: "Ini pahala 'Arafah, sungguhnya telah Kami muliakan dikau dengan dia."

Mudah - mudahan kisah yang diceritakan oleh para ulama ini bermanfaat buat kita. Marilah mempertingkatkan amalan dalam hari 'Arafah yang mulia. Jangan diabaikan saham akhirat kita, mari tambah pelaburan.

Isnin, Julai 06, 2020

Anekdot Kitab Kuning

"Kitab kuning" biasanya merujuk kepada karya - karya klasik atau kitab - kitab turats karangan dan peninggalan para ulama kita terdahulu. Biasa juga dirujuk sebagai kitab pondok atau kitab pesantren kerana ianya dijadikan teks di pondok dan pesantren, bahkan dipelajari sehingga khatam dari kulit ke kulit. Para ulama yang mengarang kitab - kitab kuning tersebut, baik ulama Timur Tengah mau pun ulama Jawi, bukanlah calang - calang ilmunya. Karya mereka ditulis mengikut uslub tertentu berpandukan kepada kaedah - kaedah bahasa yang tinggi berteraskan kepada uslub bahasa al-Quran, agar makna dan pengertiannya tidak lari dari hukum - hakam yang hendak disampaikan. Oleh itu, memahami isi kandungan kitab kuning tidaklah semudah yang disangkakan. Sekadar pandai bercakap dalam Bahasa Arab belum tentu menjamin boleh memahami isi kitab kuning dengan benar, apatah lagi jika semata - mata bersandarkan kepada ilmu bahasa Arab komunikasi (lughah 'arabiyyah ittishalliyyah) yang penekanannya lebih kepada  perhubungan dan komunikasi.

KH MA Sahal Mahfudh rahimahullah dalam buku beliau "Wajah Baru Fiqh Pesantren" menulis pada halaman 3 - 4 sebagai berikut: Disebut kitab kuning karena memang kitab - kitab ini dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun sekarang sudah banyak yang dicetak ulang di kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata. Kitab kuning menjadi menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning, akan tetapi karena kitab itu mempunyai ciri - ciri melekat yang untuk memahaminya memerlukan ketrampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali yang pandai berbahasa Arab masih mengalami kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab - kitab kuning secara persis. Namun sebaliknya, tidak sedikit para Ulama yang menguasai kitab - kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.

Maka alkisah dalam satu halaqah yang dihadiri para kiyai, Dr. Nurcholish Madjid melontar kritikan tajam, antara katanya: "Bertahun - tahun bahasa Arab diajarkan di pesantren, tapi sedikit sekali, bahkan di antara kiyai - kiyainya, yang mampu mempergunakan bahasa Arab secara aktif. Pasti ada yang salah dalam metode pengajarannya!" Kiyai Badri Masduqi Probolinggo terus bangun dan menjawab kritikan Nurcholish tersebut dengan berkata: "Pak Doktorandus, kiyai - kiyai dan santri - santri pesantren belajar bahasa Arab itu keperluannya untuk berkomunikasi dengan tokoh - tokoh Islam seperti Imam Syafi`i, Imam Ghazali dan lain - lain. Untuk memahami kitab - kitab karya mereka. Jadi tidak perlu bisa ngomong pakai bahasa Arab seperti sampeyan. Buat apa, lha wong tetangganya orang Jawa semua!"

Begitulah sebuah kisah seputar kitab kuning, memang tidak dinafikan bahawa ada kiyai - kiyai dan tok - tok guru yang amat mahir dalam kitab kuning, namun tidak fasih berbicara dalam bahasa Arab. Dan ada pula mereka - mereka yang berbicara lancar dan fasih dalam bahasa Arab, namun gagal memahami isi kandungan kitab kuning, bahkan ada yang pemahamannya ke laut. Marilah kita sama - sama mengaji kitab - kitab kuning turats peninggalan para ulama kita terdahulu.