Anekdot Kitab Kuning
"Kitab kuning" biasanya merujuk kepada karya - karya klasik atau kitab - kitab turats karangan dan peninggalan para ulama kita terdahulu. Biasa juga dirujuk sebagai kitab pondok atau kitab pesantren kerana ianya dijadikan teks di pondok dan pesantren, bahkan dipelajari sehingga khatam dari kulit ke kulit. Para ulama yang mengarang kitab - kitab kuning tersebut, baik ulama Timur Tengah mau pun ulama Jawi, bukanlah calang - calang ilmunya. Karya mereka ditulis mengikut uslub tertentu berpandukan kepada kaedah - kaedah bahasa yang tinggi berteraskan kepada uslub bahasa al-Quran, agar makna dan pengertiannya tidak lari dari hukum - hakam yang hendak disampaikan. Oleh itu, memahami isi kandungan kitab kuning tidaklah semudah yang disangkakan. Sekadar pandai bercakap dalam Bahasa Arab belum tentu menjamin boleh memahami isi kitab kuning dengan benar, apatah lagi jika semata - mata bersandarkan kepada ilmu bahasa Arab komunikasi (lughah 'arabiyyah ittishalliyyah) yang penekanannya lebih kepada perhubungan dan komunikasi.
KH MA Sahal Mahfudh rahimahullah dalam buku beliau "Wajah Baru Fiqh Pesantren" menulis pada halaman 3 - 4 sebagai berikut: Disebut kitab kuning karena memang kitab - kitab ini dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun sekarang sudah banyak yang dicetak ulang di kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata. Kitab kuning menjadi menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning, akan tetapi karena kitab itu mempunyai ciri - ciri melekat yang untuk memahaminya memerlukan ketrampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali yang pandai berbahasa Arab masih mengalami kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab - kitab kuning secara persis. Namun sebaliknya, tidak sedikit para Ulama yang menguasai kitab - kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.
Maka alkisah dalam satu halaqah yang dihadiri para kiyai, Dr. Nurcholish Madjid melontar kritikan tajam, antara katanya: "Bertahun - tahun bahasa Arab diajarkan di pesantren, tapi sedikit sekali, bahkan di antara kiyai - kiyainya, yang mampu mempergunakan bahasa Arab secara aktif. Pasti ada yang salah dalam metode pengajarannya!" Kiyai Badri Masduqi Probolinggo terus bangun dan menjawab kritikan Nurcholish tersebut dengan berkata: "Pak Doktorandus, kiyai - kiyai dan santri - santri pesantren belajar bahasa Arab itu keperluannya untuk berkomunikasi dengan tokoh - tokoh Islam seperti Imam Syafi`i, Imam Ghazali dan lain - lain. Untuk memahami kitab - kitab karya mereka. Jadi tidak perlu bisa ngomong pakai bahasa Arab seperti sampeyan. Buat apa, lha wong tetangganya orang Jawa semua!"
Begitulah sebuah kisah seputar kitab kuning, memang tidak dinafikan bahawa ada kiyai - kiyai dan tok - tok guru yang amat mahir dalam kitab kuning, namun tidak fasih berbicara dalam bahasa Arab. Dan ada pula mereka - mereka yang berbicara lancar dan fasih dalam bahasa Arab, namun gagal memahami isi kandungan kitab kuning, bahkan ada yang pemahamannya ke laut. Marilah kita sama - sama mengaji kitab - kitab kuning turats peninggalan para ulama kita terdahulu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan