Tawassul - Bicara Habib Munzir
Memang banyak pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang mukmin. Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw, tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang yang mengamalkannya.
Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 19-20 ini, dengan munculnya sekte sesat yang memusyrikkan orang-orang yang bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits shahih di bawah ini : Wahai Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang bersemangat menuju (keridhoan)Mu, dan Demi langkah-langkahku ini kepada (keridhoan)Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena riya atau sumah....... hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih). Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar. Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw berdoa dengan Tawassul kepada orang-orang yang berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw (demi langkah2ku ini kepada keridhoanMu).
Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah hafal 10.000 (sepuluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw, sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad dan hukum matannya. Lalu hadits di atas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-orang yang dianggap muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits, dan kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka bukanlah pencaci, apalagi memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan hadits shahih.
Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : Allah Yang Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum ku, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang., jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasul saw bertawassul di kubur, kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : "Wahai Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw) yang melihat beliau (saw), maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508). Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasul saw sendiri bertawassul. Apakah mereka memusyrikkan Rasul saw ? Dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar ?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah dari mana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid.
Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil. Lalu di mana kesucian tauhid dalam keimanan mereka ? Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah, yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.
Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat Ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.
Contoh lebih mudah, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon, saya adalah tetangga dekat fulan, nah bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat? Jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup, pun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan ar-Rahmaan ar-Rahiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni? Dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar, NAMUN ANDA MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT.
Aduh...aduh... entah apa yang membuat pemikiran mereka sempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini. Firman Allah : "MEREKA ITU TULI, BISU DAN BUTA DAN TAK MAU KEMBALI PADA KEBENARAN" (QS Albaqarah-18). Wahai Allah beri hidayah pada kaumku, sungguh mereka tak mengetahui.Wassalam.
- Petikan dari situs Majelis Rasulullah s.a.w.
http://www.majelisrasulullah.org/
1 ulasan:
Terjemahan Surat Yasin dan Habib An Najjar
Ketika saya membaca terjemahan Surat Yasin dalam 'Al Quran dan Terjemahannya', "AN NUR", Penerbit Asy-Syifa Semarang, maka ketika sampai pada ayat ke 20 terbaca oleh saya yang terjemahannya sbb.:
"Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: 'Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu'".
Nama yang termuat dalam tanda kurung, HABIB AN NAJJAR, inilah yang menjadi tanda tanya saya, siapakah gerangan tokoh ini?
Al Quran dan Terjemahannya, An Nur ini, diterbitkan berdasarkan pada Surat Tanda Tashih dari Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, Departemen Agama RI Nomor P III/TL.02.1/182/1998. Lalu, saya ingin tahu bagaimana pula Al Quran dan Terjemahannya versi lainnya.
Al Quran dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Penerbit Mujamma' Al Malik Fadh Li Thiba'at Al Mushaf Asy-Syarif, Medinah, terbitan 1420 atau terbitan 1426, yang biasanya dibagikan secara gratis bagi jamaah haji kita waktu akan pulang sehabis hajinya, saya lihat terjemahan Surat Yasin ayat 20 adalah sbb.:
" Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: 'Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu'".
Al Quran dan Terjemahannya, versi Penerbit Mujamma' Al Malik Fadh Li Thiba'at Al Mushaf Asy-Syarif ini ditrerbitkan berdasarkan pada Surat Tanda Tashih, Nomor P III/TL.02.1/67/1990.
Berarti kedua versi Al Quran dan Terjemahannya tersebut adalah sama-sama memuat nama HABIB AN NAJJAR setelah kalimat 'seorang laki-laki'. Untuk perbandingan dan mencari tahu siapakah sang tokoh Habib An Najjar, saya lihat Tafsir Al Quran yang disusun oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. Penerbit Widjaya, Jakarta, tahun 1990. Penyusunan tafsir ini berdasarkan pada Surat Tanda Tashih, Nomor J III/171/B-II/77, maka terjemahan Surat Yasin ayat 20 sbb.:
"Dan datang tergesa-gesa seorang laki-laki dari ujung kota mengatakan: ' Hai kaumku! Turutlah utusan itu'".
Begitu pula Al Quran dan Terjemahannya, yang diterbitkan oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran Departemen Agama RI Proyek Tahun 1984-1985, disusun berdasarkan pada Surat Tanda Tashih, Nomor P III/190/TL.02.1/85, maka terjemahan Surat Yasin ayat 20 sbb.:
"Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: 'Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu'
Ternyata, bahwa kedua versi terakhir ini, sama sekali tidak memuat nama HABIB AN NAJJAR setelah kalimat 'seorang laki-laki'. Lalu terjemahan manakah yang benar terhadap dua versi terjemahan Surat Yasin ayat 20 tersebut?. Padahal semua terjemahan Al Quran ini diterbitkan berdasarkan data dari Departemen Agama RI atau setelah melalui seleksi dari Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran milik Departemen Agama RI juga?. Pertanyaan lain, siapakah gerangan tokoh HABIB AN NAJJAR itu sendiri?
Catat Ulasan